Gpd8TfAlBUYoTfM6TUAlTUAlTA==

Metu Telu dan Islam Sasak: Transformasi Nilai Kosmologis Menuju Spiritualitas Tauhid dalam Peradaban Modern


Oleh: Dr. Ahsanul Khalik


Di tengah derasnya arus modernisasi dan tekanan globalisasi yang kian mereduksi manusia menjadi sekedar roda mesin ekonomi, kita kerap lupa bahwa kehidupan tidak hanya diukur oleh angka, kekuasaan, dan pertumbuhan material. Ada ruang batin yang jauh lebih luas yaitu ruang kesadaran kosmis yang menuntun manusia memahami siapa dirinya dan untuk apa ia hidup. Pada tanah Leluhur Sasak, ruang batin itu menemukan bentuknya dalam sebuah falsafah tua yang terus hidup di sirkulasi memori kolektif: Metu Telu.


Metu Telu bukan sekedar istilah adat yang terpatri dalam naskah tradisi. Ia adalah pandangan dunia, kosmologi hidup, dan filsafat etis yang memandang kehidupan sebagai siklus suci: lahir - hidup - mati. Dalam pandangan Metu Telu, manusia bukan penguasa alam, tetapi bagian dari lingkaran kosmos yang bersaudara dengan tanah yang menumbuhkan padi, air yang menghidupkan darah, angin yang memelihara napas, dan hutan yang menjaga kehidupan.


Namun di atas segalanya, kekuatan paling indah dari Metu Telu adalah kemampuannya bertransformasi dalan menyesuaikan diri dengan cahaya Islam ketika dakwah menyentuh Lombok berabad lalu. Dari perjumpaan itu lahirlah spiritualitas baru yang menautkan adat dan agama dalam satu harmoni yang tidak saling meniadakan, tetapi saling menyempurnakan.


Dalam kajian antropologi budaya, Metu Telu dipahami berakar dari struktur kepercayaan masyarakat Sasak pra-Islam. Filosofi ini menjelaskan bahwa kehidupan di dunia terjadi melalui tiga pintu reproduksi, yaitu: mentioq - kehidupan tumbuh dari benih (tunas), mentelok - kehidupan lahir dari telur, dan menganak - kehidupan hadir dari rahim ibu.


Dari sini muncul istilah Metu Telu, “tiga keluaran”, sebuah cara memahami bahwa kehidupan adalah anugerah sakral yang muncul melalui tiga sumber dan harus dipelihara dengan penuh hormat. Bagi masyarakat Sasak, kehidupan bukan milik pribadi, melainkan amanah yang mengikat manusia dengan keluarga, masyarakat, dan alam.


Dengan demikian, Metu Telu sejak awal merupakan pandangan etis: bahwa hidup harus dijalani dengan kesadaran akan keterhubungan kosmis.



Transformasi Metu Telu dalam Pelukan Islam


Ketika Islam masuk ke Lombok melalui jalur dakwah damai dari Jawa dan Sulawesi pada abad ke-17, ia tidak serta merta menghapus struktur adat. Islam menyentuh budaya lokal dengan kelembutan, memeluknya, kemudian memperhalus makna spiritual yang ada di dalamnya.


Metu Telu, yang awalnya merupakan kosmologi adat kemudian mengalami transformasi menuju spiritualitas tauhid. Siklus lahir - hidup - mati dipadukan dengan ajaran Islam tentang asal-usul manusia, tugasnya sebagai khalifah, dan kembalinya kepada Allah:


“Sesungguhnya Kami menciptakan manusia dari saripati tanah.” (QS. Al-Mu’minun: 12)


“Dan ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat: Sesungguhnya Aku hendak menjadikan khalifah di bumi.” (QS. Al-Baqarah: 30)


“Sesungguhnya kami adalah milik Allah dan sesungguhnya kepada-Nya kami kembali.” (QS. Al-Baqarah: 156)


Melalui wahyu ini, Metu Telu menemukan makna baru:


- Lahir merupakan anugerah Ilahi yang mengandung amanah.


- Hidup merupakan ruang ibadah sosial untuk memakmurkan bumi.


- Mati merupakan perjalanan kembali kepada Sang Pencipta.


Dengan demikian, Metu Telu tidak lagi berdiri sebagai kepercayaan kosmologis tertutup, tetapi menjadi pintu masuk menuju kesadaran tauhid. Ia kehilangan unsur animisme dan dinamisme, namun memelihara etika ekologis dan sosialnya. Alam tidak lagi dihormati sebagai entitas gaib, tetapi dimuliakan sebagai amanah ilahi.



Perjumpaan Adat dan Islam: Dari Metu Telu ke Wetu Telu dan Waktu Lima


Transformasi nilai Metu Telu kemudian melahirkan praktik keberislaman yang khas di Lombok, dikenal dengan istilah Wetu Telu yang merupakan bentuk Islam lokal yang mengakomodasi adat dan syariat. Islam dihidupi secara bertahap: menguatkan akidah, memperkuat ibadah komunal, dan membangun etika sosial.


Dalam konteks ini, Metu Telu menjadi bahasa budaya untuk menjelaskan agama. Angka tiga yang semula merujuk pada pintu kehidupan berubah menjadi simbol tiga dasar ajaran, yaitu Al-Qur’an, Hadist dan Ijma’ (kesepakatan ulama)


Demikian pula ritual adat diselaraskan sebagai bentuk zikir kolektif, bukan pemujaan gaib. Masyarakat menjalankan agama dengan kesadaran bahwa Islam datang untuk menyempurnakan, bukan menghancurkan.


Akhirnya ketika Waktu Lima menjadi bentuk Islam yang dominan, nilai-nilai Metu Telu tidak lenyap. Ia tetap hidup dalam bentuk:


- etika gotong royong (besiru, begibung)


- penghormatan kepada tetua dan leluhur


- pengelolaan alam berkelanjutan


- budaya sambang urip - sambang pati (solidaritas hidup–mati)


Dari sinilah tumbuh karakter Islam Sasak: gagah, santun, religius, dan membumi.



Metu Telu dalam Pembangunan Peradaban Modern


Di era kontemporer, Metu Telu menemukan relevansinya kembali dalam tiga sektor utama:


Pertama, Tata Kelola Publik yang Beradab. Pelayanan publik dipahami bukan sebagai birokrasi kaku, tetapi sebagai amanah spiritual. Semangat Metu Telu mendarah daging dalam pelayanan sosial di desa-desa dan kota-kota NTB: penguatan solidaritas, penghormatan terhadap warga rentan, dan kebijakan yang humanis.

Budaya menjadi fondasi etika pemerintahan.


Kedua, Pendidikan Moderasi Beragama. Metu Telu menjadi alat pendidikan karakter di sekolah, madrasah, dan pesantren:


- mengajarkan toleransi dan anti-kekerasan,


- membangun kesadaran sosial dan empati,


- mengaitkan pelajaran agama dengan nilai budaya.


Di banyak pondok pesantren, guru mengajarkan bahwa merawat alam adalah ibadah, sementara merusak lingkungan adalah dosa, sejalan dengan ayat:


“Janganlah kamu merusak bumi setelah Allah memperbaikinya." (QS. Al-A’raf: 56)



Ketiga, Ekoteologi dan Krisis Lingkungan. Metu Telu memberi landasan moral untuk isu ekologis:

penyelamatan hutan adat, rehabilitasi sungai, pertanian organik, dan mitigasi bencana.


Ia menegaskan bahwa kerusakan alam bukan sekedar kegagalan teknologi, tetapi luka spiritual akibat hilangnya harmoni manusia - alam - Tuhan.


Metu Telu adalah jejak kosmologi masa lalu yang bergerak ke dalam cahaya tauhid. Ia tidak lahir merupakan kepercayaan animisme ataupun dinamisme yang bertentangan dengan akidah, tetapi refleksi budaya tentang bagaimana manusia menjaga kehidupan dengan penuh hormat.


Metu Telu adalah jembatan: dari kosmos ke tauhid, dari adat ke Islam, dari tradisi ke peradaban.


Dan dalam dunia hari ini yang semakin terasing dari keseimbangan kosmis, pesan Metu Telu terasa semakin relevan:


Siapa menyakiti alam, ia merusak dirinya sendiri. Siapa menjaga kehidupan, ia sedang membangun surga,

Komentar0

Type above and press Enter to search.