Gpd8TfAlBUYoTfM6TUAlTUAlTA==

Negara Absen, Anak-Anak Lotim Dikorbankan atas Nama Ketertiban dan Citra Lembaga

LOMBOK TIMUR-Setiap 23 Juli, negara bersolek untuk memperingati Hari Anak Nasional. Spanduk-spanduk dipasang, pejabat bicara tentang masa depan bangsa, dan panggung-panggung kecil digelar untuk menampilkan anak-anak bernyanyi tentang harapan. Tapi mari kita jujur: semua itu hanya tirai manis yang menutupi kekejaman sistem yang membiarkan anak-anak terus disakiti.

Di Lombok Timur, sepanjang 2024, sebanyak 189 anak menjadi korban kekerasan. Kekerasan seksual, pemukulan, perundungan, bahkan eksploitasi. Dan kita tahu, itu hanya yang tercatat. Betapa banyak lagi yang tidak pernah berani bersuara? Yang dilumpuhkan oleh rasa takut, oleh tekanan keluarga, oleh institusi yang seharusnya melindungi mereka tapi malah bungkam demi menjaga nama baik.

Yang paling menyakitkan adalah ketika negara dan aparatnya hadir bukan untuk membela korban, tapi untuk melindungi pelaku. Lebih dari 50% kasus tidak diproses hukum. Alasannya? Diselesaikan secara kekeluargaan. Bahasa halus dari impunitas. Bahasa lembut dari pembiaran. Bahasa kekuasaan yang lebih takut pada citra institusi daripada nyawa dan masa depan seorang anak.

Di mana negara saat seorang anak perempuan dilecehkan di pesantren? Di mana hukum ketika seorang guru meraba-raba muridnya? Di mana tokoh agama ketika korban dipaksa diam demi nama baik lembaga? Negara hadir—tapi tidak berpihak. Negara hadir—tapi untuk menenangkan, bukan menyelesaikan. Negara hadir—tapi untuk menjaga ketertiban palsu, bukan membela keberanian korban.

Kita tidak bisa bicara perlindungan anak dalam sistem yang menempatkan kekuasaan di atas keadilan. Kita tidak bisa berharap perubahan dari birokrasi yang sibuk berkonferensi sambil menumpuk laporan. Perlindungan anak bukan agenda elite. Ia adalah agenda rakyat. Ia harus menjadi perlawanan kolektif terhadap budaya diam, terhadap feodalisme lembaga pendidikan, terhadap institusi agama yang menutup-nutupi aib dengan jubah suci.

Anak-anak adalah korban dari sistem yang timpang. Sistem yang hanya bergerak jika ada kamera. Sistem yang diam ketika yang bersalah adalah orang-orang yang punya posisi, punya pengaruh, punya uang.

Kami, yang berdiri bersama rakyat, menyatakan:

Cukup sudah.
 Anak-anak bukan perisai moral palsu elite.
Anak-anak bukan simbol upacara tahunan.
 Anak-anak bukan objek proyek dana kampanye.
 Anak-anak adalah manusia, yang punya hak, punya suara, dan pantas untuk dilindungi.

Hari Anak Nasional di Lombok Timur harus menjadi hari perlawanan.
Hari di mana kita menyatakan bahwa satu anak yang disakiti—adalah hasil dari sistem yang rusak.
Hari di mana kita berani menyebut pelaku dengan nama, menolak damai, dan melawan ketakutan.

Kami menyerukan:

Buka data kekerasan secara utuh, transparan, dan akuntabel.
Tindak pelaku tanpa ampun, tanpa pandang bulu.
Audit semua lembaga pendidikan dan pesantren, libatkan masyarakat dan korban.
Bangun rumah aman bukan untuk pencitraan, tapi untuk penyembuhan nyata.
Arahkan anggaran daerah untuk keberpihakan pada korban, bukan seremonial kosong.

Karena jika negara tak berpihak, maka rakyatlah yang harus berdiri.
Dan kami memilih berpihak pada yang paling kecil, yang paling lemah, yang paling dibungkam: anak-anak yang terluka dan tak pernah didengarkan.

Oleh: Rohman Rofiki
Aktivis Gerakan Rakyat dan Pemerhati Perlindungan Anak


Komentar0

Type above and press Enter to search.