Gpd8TfAlBUYoTfM6TUAlTUAlTA==

INSPIRASI AMAQ BAGOK - Rinjani: Pasak Bumi Lombok yang Mengajarkan Sujud


Di ufuk timur Nusantara, ada sebuah pulau kecil bernama Lombok, tanah yang diapit laut biru dan bukit hijau, ia adalah sejengkal tanah surga dititipkan Sang Pemilik Semesta di antara Samudra Hindia dan Laut Bali. Dan di tengahnya berdiri Rinjani, tegap dan teduh, menembus langit dengan dada berbalut kabut. Ia bukan gunung tertinggi di dunia, tapi di pulau sekecil ini, keagungannya menjelma do'a yang tak pernah usai.


Bagi orang Lombok, Rinjani bukan sekedar gunung. Ia adalah ibu, penjaga, dan guru kehidupan. Dari lerengnya mengalir air yang menumbuhkan padi, kopi, dan do'a-do'a petani yang disiram embun. Di perutnya bersemayam Danau Segara Anak, air biru yang seperti mata menatap teduh, tenang tapi dalam, menyimpan rahasia kehidupan dan kesunyian.


“Dalam perspektif keagamaan, para ulama Islam menyebut Gunung Rinjani sebagai ‘pasak bumi’, menandakan keseimbangan antara beban daratan dan kekuatan langit.”

Dalam istilah geologi, ia menstabilkan lempeng, mengatur tekanan, menjaga bumi agar tidak mudah berguncang. Tapi bagi orang beriman, pasak itu bukan hanya urusan fisika dan magma; ia adalah ayat yang tegak di hadapan manusia, tanda kebesaran Sang Pencipta yang menegur lembut agar kita berhenti sombong.


Maulana Syaikh TGKH. Muhammad Zainuddin Abdul Madjid, guru besar yang cahaya ilmunya menuntun generasi Lombok, pernah berwasiat: “Pulau Lombok kecil sekali, Tapi gunungnya besar dan tinggi. Kalau engkau pandai mengkaji, Pastilah sujud seribu kali.”


Bait itu bukan sekedar sajak, melainkan undangan untuk berpikir dan tunduk. Lombok kecil - ya, tapi di dadanya berdiri Rinjani yang besar, seperti jiwa manusia yang mungil namun bisa memikul kebesaran iman. "Gunung itu mengajarkan keseimbangan, kecil secara rupa, besar dalam makna, sederhana dalam bentuk, tapi kokoh dalam hikmah."


Dalam ukuran dunia, Lombok memang hanyalah pulau kecil dengan luas sekitar empat ribu kilometer persegi. Tapi bila dibandingkan dengan ketinggian Rinjani, perbandingan itu menjadi luar biasa, hampir satu meter ketinggian untuk setiap empat kilometer tanah. Rasio itu menempatkan Rinjani sebagai salah satu gunung paling dominan di dunia.


Dari sinilah muncul pelajaran besar:


"Besar tidak selalu berarti dominan; yang kecil pun bisa memiliki kekuatan besar bila menegakkan keseimbangan."


Lombok kecil, tapi mengandung kekuatan alam yang luar biasa. Begitu pula manusia, bukan ukuran tubuh atau kekuasaan yang membuatnya kokoh, melainkan keseimbangan antara ilmu, iman, dan amal yang menancap dalam jiwanya.


Dalam diamnya, Rinjani menegur kita, bahwa manusia pun seharusnya menjadi pasak bagi sesama, menegakkan kebenaran tanpa perlu menonjolkan diri.


Setiap kali fajar menyingkap kabut di punggung Rinjani, cahaya yang jatuh ke lembah seperti kalimat tauhid yang disulam ulang. Di sanalah kita bisa belajar mengenal arti sujud yang sejati. Sujud bukan sekedar menundukkan kepala di atas sajadah, tetapi menundukkan hati di hadapan kebesaran yang tak mampu dijangkau logika. Sujud adalah sikap hidup, sadar bahwa segala pencapaian kita, sehebat apa pun, tetap kecil di hadapan-Nya.


Rinjani mengingatkan bahwa manusia, seperti gunung, tak pernah berdiri sendiri. Ia menopang dan ditopang. Lerengnya memberi air bagi sungai, sungainya memberi hidup bagi sawah, sawahnya memberi makan bagi manusia. "Begitu pula kita, hidup dalam saling keterhubungan, apa yang kita jaga, kembali menjaga kita. Bila kita merusak bumi, kita sejatinya sedang merobek tubuh kita sendiri."


Gunung juga menegur dalam caranya sendiri. Ia bisa sabar bertahun-tahun, tapi sekali marah, dunia mengingatnya. Letusan Rinjani bukan sekedar gejala geologi, tapi bahasa alam yang menuntut keseimbangan dikembalikan. Ia seolah berbisik:  “Aku diam bukan berarti lemah, aku meledak bukan karena benci. Aku hanya ingin kau belajar menghormati.”


Dan bukankah begitu pula dengan hidup manusia? Kadang Tuhan memberi jeda panjang agar kita belajar, sebelum akhirnya mengingatkan dengan ujian. Tidak semua guncangan berarti murka; kadang itu adalah cara lembut semesta untuk mengembalikan arah langkah kita yang tersesat oleh kesombongan.


Rinjani berdiri bukan untuk ditaklukkan, tapi untuk direnungi. Mendakinya bukan tentang mencapai puncak, tapi tentang menemukan diri di tengah perjalanan. Di setiap napas yang tertinggal di jalur pendakian, ada pelajaran tentang sabar, tentang lelah yang diubah jadi do'a, tentang tinggi yang hanya bermakna jika diikuti rendah hati saat turun kembali.


Begitulah manusia di hadapan Allah, diberi kesempatan untuk naik setinggi mungkin, agar tahu betapa kecil dirinya di bawah langit. "Rinjani mengajarkan, semakin tinggi engkau berdiri, semakin luas pandanganmu, semakin besar tanggung jawabmu untuk menunduk dan menjaga bumi yang menopangmu."


Lombok, pulau kecil dengan gunung besar, seakan jadi cermin bagi kita semua, bahwa ukuran tidak menentukan makna. Di atas pulau kecil ini, Allah menunjukkan bagaimana keagungan bisa hadir dalam kesederhanaan. Di sinilah ilmu dan iman bertemu, gunung menjelaskan ayat-ayat geologi, sementara hati membaca ayat-ayat ketundukan.


Dan pada akhirnya, setiap kali kabut turun menutupi puncak Rinjani, seolah Allah menutup tirai di panggung keagungan-Nya. Ia membiarkan manusia menatap dari bawah, cukup untuk mengagumi, tidak untuk merasa memiliki. Sebab ada hal-hal dalam hidup yang hanya bisa kita pandang dari jauh, agar tak hilang hormatnya.


"Mungkin itulah makna paling dalam dari wasiat Maulana Syaikh: bahwa Lombok yang kecil diberkahi gunung besar bukan untuk dibanggakan, tapi untuk direnungi. Agar manusia di tanah ini dan siapa pun yang datang, belajar bersujud seribu kali, bukan karena takut pada tinggi, tapi karena takjub pada kebesaran Yang Maha Tinggi."


Rinjani bukan sekedar puncak gunung, tapi puncak kesadaran. Ia berdiri di tengah Lombok seperti hati di tengah tubuh manusia, menyeimbangkan, menenangkan, dan mengingatkan. Dan bila suatu hari kita mendakinya, lalu menatap dunia dari puncaknya, semoga yang tumbuh bukan rasa bangga telah sampai, melainkan rasa syukur karena diizinkan melihat keindahan dari dekat.


"Sebab gunung yang besar tak mengajarkan kita untuk meninggi, tapi untuk tahu kapan harus menunduk, dan bersujud, di bumi yang sekecil Lombok, yang ternyata seluas rahmat Allah."

Komentar0

Type above and press Enter to search.