Gpd8TfAlBUYoTfM6TUAlTUAlTA==

Para Copet APBD yang Gaduh di WhatsApp Grup

Oleh : Apriadi Abdi Negara


Di NTB, politik kadang tak lagi berlangsung di panggung rakyat, melainkan di ruang sunyi WhatsApp. Dari sanalah terdengar gaduh sekelompok orang yang dulunya hidup makmur dari celah anggaran. Kini, setelah pintu APBD dikunci dengan integritas, mereka kehilangan ruang gerak.


Para pemain lama ini macam-macam wujudnya. Ada  LSM yang dulu nyaman “eks makan gaji buta”, pembuat breaking news kelaparan, makelar proyek yang hobi mengintai OPD, sampai pedagang alsintan yang kehilangan dagangan. Lengkap dengan oknum AH yang jejak transfer Rp.80 jutanya masih bisa ditelusuri. Mereka punya kesamaan: pernah menikmati remah APBD, kini hanya bisa berteriak di grup WhatsApp.


Lucunya, keributan itu tak pernah sampai ke akar rumput. Di dusun dan desa, petani tetap sibuk di sawah, nelayan tetap melaut, dan rakyat lebih peduli harga pupuk ketimbang celoteh elite yang gagal proyek. Yang gaduh hanyalah lingkaran kecil, itu pun dengan catatan suram: tiap kali pemilu legislatif, mereka kalah. Saat pilkada, calon yang mereka dukung juga tumbang.


Maka tidak heran, mereka tak punya basis massa, apalagi legitimasi. Satu-satunya panggung tersisa hanyalah grup WhatsApp. Di sana mereka saling bersuara lantang, seolah-olah mewakili rakyat, padahal yang mereka perjuangkan hanyalah jalan kembali ke meja proyek.


Gubernur bisa tenang menyimak pementasan murahan ini. Bagi rakyat, keributan itu sama sekali tak penting. Justru lebih layak disebut drama pengangguran terselubung: orang-orang yang dulu bergantung pada anggaran, kini kehilangan pijakan.


Yang lebih penting, pejabat Pemprov NTB sebaiknya tidak ikut nimbrung dalam percakapan murahan itu. Sebab sekali ikut, wibawa pejabat bisa turun setara dengan para copet APBD yang kini cuma bisa gaduh di WhatsApp.


Komentar0

Type above and press Enter to search.