Gpd8TfAlBUYoTfM6TUAlTUAlTA==

Bukit Sembalun Dikepras, Pariwisata yang Menyimpan Bom Waktu Bencana

Oleh: Dr. H. Ahsanul Khalik - Staf Ahli Gubernur NTB


Di kaki Gunung Rinjani, hamparan bukit hijau Sembalun bagaikan gelombang samudra yang membeku di daratan. Setiap lekuknya menyimpan cerita tua: tentang ladang bawang yang harum, para petani yang menunduk di bawah matahari, dan kabut pagi yang menari pelan sebelum mentari naik sempurna. Di sanalah banyak orang jatuh cinta wisatawan datang bukan sekadar mencari foto, tetapi ingin merasakan napas alam yang murni dan damai.


Namun kini, kabar yang mengusik mulai terdengar. Bukit-bukit itu dipangkas, tanahnya dikepras, lalu diratakan demi penginapan, restoran, dan fasilitas wisata. Geliat ekonomi mungkin terdengar menggiurkan, tetapi kita patut berhenti sejenak dan bertanya: apa yang akan kita bayar untuk kemegahan instan ini?



Pengerukan yang Menggerus Keteduhan


Menurut laporan media lokal, pengerukan kian marak di beberapa titik strategis Sembalun :


- Desa Sembalun Bumbung, terjadi pengerukan perbukitan berskala besar di area dekat hutan dan lereng kritis.


- Lereng Bukit Pergasingan, terutama di perbatasan Desa Sembalun Lawang dan Sembalun Timba Gading, menjadi sorotan utama. Pemaprasan di bukit yang menjadi ikon wisata ini mendapat penolakan dari warga dan pemerintah desa.


- Sekitar empat hektar lahan pertanian milik puluhan petani tertimbun material pengerukan, merusak kebun bawang dan sayur yang menjadi sumber hidup mereka.


- Organisasi lingkungan seperti SMPS dan KPLH-Sembapala mengecam pengerukan di area yang semestinya menjadi zona lindung.


Desa Sembalun Lawang bahkan secara resmi meminta klarifikasi izin kepada Dinas PUPR dan RTRW. Namun, pihak pengembang kerap “bermain kucing-kucingan”, menghentikan kegiatan saat diprotes, lalu kembali melanjutkan. Kekosongan regulasi dan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kabupaten yang belum final menjadi celah yang dimanfaatkan untuk bergerak tanpa pengawasan memadai.


Risiko Jangka Panjang, Alam yang Akan Menagih


  • Bukit yang dipangkas bukan hanya kehilangan keelokannya; ia menjadi luka terbuka yang menunggu hujan pertama.
  • Lereng rapuh, longsor mengintai. Tanah yang kehilangan pegangan akar akan mudah bergeser saat curah hujan tinggi atau getaran gempa datang. Jalan desa bisa tertutup, rumah-rumah terguncang, bahkan nyawa bisa melayang.
  • Air menghilang, banjir datang. Bukit hijau menyimpan hujan di perutnya. Jika berubah menjadi beton, air tak lagi meresap, melainkan mengalir deras ke lembah, merusak lahan pertanian dan merendam pemukiman, sementara mata air dan sumur mengering di kemarau.
  • Ekosistem runtuh. Burung endemik, serangga penyerbuk, dan vegetasi dataran tinggi yang menopang pertanian lenyap bersama habitatnya.
  • Daya tarik wisata memudar. Wisatawan datang untuk keaslian, bukan pemandangan buatan. Jika wajah Sembalun rusak, daya pikatnya hilang, dan pariwisata runtuh oleh ulahnya sendiri.
  • Kerugian sosial-ekonomi. Petani kehilangan tanah, warga kehilangan air, dan biaya pemulihan jatuh ke pundak pemerintah dan masyarakat.


Sebagai orang yang pernah memimpin Badan Penanggulangan Bencana Daerah NTB saat masa rehabilitasi dan rekonstruksi Gempa Lombok 2018, penulis memahami betapa rapuhnya bumi ketika keseimbangannya diganggu. Daerah yang tadinya dianggap aman bisa berubah menjadi titik bencana. Dan ketika alam menagih, biaya yang kita keluarkan jauh lebih besar daripada upaya menjaga sejak awal.


Pariwisata yang Menyayangi Alam, Bukan Merobeknya


Pariwisata seharusnya menjadi oase kesejahteraan, bukan kutukan yang menyimpan bencana. Pembangunan wisata bisa dilakukan tanpa merusak penyangga alam, jika kita mau menempuh jalan yang bijak :


  • Ikuti kontur, bukan meratakannya. Bangunan sebaiknya kecil, ringan, adaptif terhadap lereng, dan tidak memutus garis alami bukit.
  • Konservasi tanah-air sebagai standar wajib. Terasering, vegetasi penahan erosi, pagar batu, drainase ramah lingkungan, dan sumur resapan harus menjadi bagian dari desain.
  • Desain yang menyatu dengan lanskap. Tinggi bangunan dibatasi, warna alami dipilih, material lokal digunakan, sehingga wisatawan merasa menyatu dengan alam, bukan menaklukkannya.
  • Limbah dikelola, bukan dibuang sembarangan. Air kotor dan sampah harus ditangani agar tidak merusak tanah dan sungai di bawah.
  • Wisata yang bertahan adalah wisata yang bersahabat dengan bumi; yang menyatu, tidak mendominasi.



Langkah Mendesak bagi Pemerintah Daerah


Agar tidak terlambat, Pemerintah Kabupaten Lombok Timur dan Pemerintah Provinsi NTB harus segera bertindak :


1. Moratorium pengerukan. Hentikan semua aktivitas pemaprasan lereng kritis sampai kajian lingkungan dan izin diperiksa ulang.


2. Audit izin secara menyeluruh. Telusuri legalitas semua proyek, cabut izin yang tidak sesuai RTRW atau tanpa AMDAL/UKL-UPL.


3. Percepat pengesahan RTRW dan Rencana Detail Tata Ruang. Masukkan zona perlindungan lereng dan kawasan rawan longsor secara jelas agar tidak ada celah hukum.


4. Perkuat pengawasan. Bentuk tim lintas dinas (Lingkungan Hidup, Kehutanan, PUPR, Bappeda, Pariwisata, Desa), lakukan pemantauan yang ketat dan tegakkan sanksi tegas bagi pelanggar.


5. Pulihkan area rusak. Lakukan revegetasi, bangun struktur penahan longsor, dan kembalikan fungsi serapan air.


6. Libatkan masyarakat. Warga harus menjadi penjaga lanskap dan penerima manfaat wisata, bukan korban. Transparansi izin dan rencana pembangunan wajib dibuka.


7. Kajian geoteknik wajib. Semua rencana pembangunan di lereng harus melewati kajian teknis yang jelas untuk memastikan keamanan tanah dan mitigasi bencana.


8. Dorong investasi hijau. Beri insentif bagi pengembang yang mematuhi prinsip ramah lingkungan dan penalti bagi yang merusak.



Belajar dari Luka Masa Lalu


Gempa Lombok 2018 memberi kita pelajaran pahit, pembangunan yang abai terhadap keseimbangan alam meningkatkan kerentanan bencana. Jangan sampai kita mengulangi kesalahan yang sama, merobek bukit demi keuntungan sesaat, lalu menyesal ketika tanah runtuh dan air hilang.


Sembalun tak butuh keindahan semu. Ia butuh kebijaksanaan.

Menjaga bukit berarti menjaga air, tanah, kehidupan, dan masa depan anak-anak kita. Wisata yang arif bukan yang merusak, melainkan yang bersahabat dengan alam dan menjadikannya sahabat manusia.

Komentar0

Type above and press Enter to search.