Gpd8TfAlBUYoTfM6TUAlTUAlTA==

Banjir Mataram Ungkap Kelemahan Tata Kelola Sungai

Peta sebaran dampak bencana banjir di Kota Mataram, Minggu (06/07/2025). Foto: BPBD Provinsi NTB


Mataram, NTBPost.com - Hujan ekstrem yang melanda Kota Mataram, Nusa Tenggara Barat, pada Sabtu (6/7/2025) memicu banjir besar yang merendam tiga kecamatan. Peristiwa ini mengungkap lemahnya sistem drainase kota serta kerentanan kawasan permukiman terhadap bahaya hidrometeorologi yang diperparah oleh perubahan iklim.


Data Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) menunjukkan intensitas hujan mencapai 111,4 milimeter di Sigerongan dalam waktu kurang dari enam jam. Volume air yang turun diperkirakan mencapai 4,2 miliar liter. Hujan lebat terjadi pada masa puncak musim kemarau, yang secara klimatologis jarang terjadi di wilayah NTB.


Tiga kecamatan terdampak paling parah adalah Sandubaya, Mataram, dan Cakranegara, dengan ketinggian genangan air bervariasi antara 60 sentimeter hingga dua meter. Permukiman padat seperti Sweta dan Bertais mengalami genangan luas, sementara sejumlah rumah warga di Cakranegara terendam hingga atap.


“Banjir ini merupakan contoh nyata meningkatnya risiko hidrometeorologi akibat perubahan iklim. Curah hujan ekstrem di luar musim sudah menjadi pola baru yang harus diantisipasi,” kata Giri Arnawa, Climate Resilient Sustainable Landscape Specialist, di Mataram, Minggu (7/7).


Sungai Meluap, Drainase Tersumbat


Luapan Sungai Ancar menjadi pemicu utama banjir di wilayah Perumahan Riverside. Debit air yang besar tidak tertampung oleh alur sungai, menyebabkan tiga kendaraan hanyut. Di lokasi lain, robohnya tembok Tempat Pengolahan Sampah Terpadu (TPST) Sandubaya dan pohon tumbang memperburuk kondisi genangan.


Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) NTB bersama TNI, Polri, dan relawan melakukan evakuasi darurat. Sejumlah warga terpaksa naik ke lantai dua rumah atau ke atap bangunan untuk menghindari genangan.


Masalah drainase menjadi sorotan utama. Banyak saluran air tersumbat sampah, menghambat aliran air hujan ke kolam retensi atau sungai. Kolam retensi Giong Siu yang diharapkan meredam banjir, tidak mampu menampung limpasan air dalam skala besar.


“Kapasitas infrastruktur tidak memadai untuk hujan dengan intensitas ekstrem. Di sisi lain, alih fungsi lahan di bantaran sungai memperbesar risiko,” ujar Giri.


Permukiman di bantaran Sungai Ancar, seperti di Pamotan, Cakranegara, menjadi kawasan yang terdampak paling serius. Banyak rumah dibangun terlalu dekat dengan aliran sungai tanpa sistem pengamanan banjir yang memadai.


Antisipasi dan Mitigasi


BMKG sebelumnya telah mengeluarkan peringatan dini tentang potensi hujan lebat di musim kemarau. Namun, informasi ini belum terintegrasi dengan baik dalam sistem peringatan lokal dan respons cepat di lapangan.


Giri menilai, ke depan perlu dilakukan reformasi dalam pengelolaan daerah aliran sungai. Langkah-langkah seperti normalisasi alur sungai, pembuatan bendungan pengendali, dan perluasan ruang terbuka hijau dinilai mendesak. Ia juga mendorong pemanfaatan data iklim dalam perencanaan tata ruang.


“Tanpa integrasi data iklim dan keterlibatan masyarakat dalam menjaga drainase, risiko bencana akan terus meningkat. Kita membutuhkan pendekatan lintas sektor yang berkelanjutan,” ujarnya.


Gubernur NTB dan Wali Kota Mataram telah menyampaikan komitmen memperkuat sistem penanggulangan bencana. Namun, pengamat menilai implementasi di lapangan masih terbatas pada upaya reaktif, belum menyentuh aspek pencegahan jangka panjang.


“Banjir ini menjadi peringatan bahwa tata kelola lingkungan dan infrastruktur kita belum siap menghadapi perubahan iklim. Tanpa pembenahan menyeluruh, bencana serupa dapat berulang dengan skala lebih besar,” kata Giri. (NTBPost/Zak) 

Komentar0

Type above and press Enter to search.