![]() |
Ketua Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) NTB, Dr. Buya Subki Sasaki |
Mataram, NTBPost.com — Ketua Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) NTB, Dr. Buya Subki Sasaki, menegaskan bahwa pernikahan dini perlu ditakar dari berbagai aspek, termasuk agama, budaya, dan hukum positif, untuk memahami dampaknya terhadap kehidupan masyarakat.
Dalam wawancara dengan NTBPost, Dr. Subki Sasaki menjelaskan bahwa baik dalam Islam maupun agama lain, pernikahan menekankan kesiapan mental antara laki-laki dan perempuan.
Hal serupa juga diterapkan dalam pandangan budaya, di mana kedewasaan menjadi faktor utama. Sementara itu, hukum positif melalui Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 menetapkan usia minimal pernikahan adalah 19 tahun bagi laki-laki dan perempuan.
"Titik perbedaan dari ketiga norma ini ada pada standarnya. Agama menekankan kedewasaan pada kesiapan seseorang dalam menjalankan kehidupan berumah tangga, sementara budaya menitikberatkan pada pendidikan dan pemahaman dasar, termasuk nilai-nilai keagamaan," ujar Dr. Subki Sasaki dalam pernyataannya. Kamis,(29/05).
Dr. Subki Sasaki menyoroti bahwa fenomena pernikahan dini yang terjadi di Lombok Tengah baru-baru ini bisa menjadi awal dari semakin longgarnya batasan norma hukum jika tidak ditindaklanjuti secara serius. Menurutnya, alasan yang paling sering digunakan dalam kasus pernikahan dini adalah menjaga aib, terutama jika pihak perempuan sudah mengandung sebelum menikah.
"Saya khawatir fenomena ini bisa menjadi mukadimah yang membuka ruang bagi pelanggaran lebih besar jika tidak segera disikapi," kata Dr. Subki Sasaki.
Ia menekankan perlunya melibatkan berbagai pihak, termasuk sosiolog, psikolog, seksolog, budayawan, dan fukaha (ahli hukum Islam) dalam membahas kebijakan yang lebih komprehensif terhadap pernikahan dini.
Selain itu, ia menegaskan pentingnya Peraturan Daerah (Perda) yang lebih tegas, serta sosialisasi masif kepada masyarakat agar tidak hanya mengikuti adat, tetapi juga mempertimbangkan aspek pendidikan dan hukum dalam keputusan pernikahan.
"Penerapan Perda dan sosialisasi yang lebih luas akan menjadi ujung tombak untuk mengedukasi masyarakat agar tidak sembarangan menikahkan anak-anak mereka tanpa mempertimbangkan dampak jangka panjangnya," tutupnya. (NTBPost/red.)
Komentar0