Gpd8TfAlBUYoTfM6TUAlTUAlTA==

Representatif dari Cara Berfikir Praktis Sebagai Anggota Polri

Berpikir praktis merupakan sebuah cara berpikir diamana keputusan atau cara bertindak ditentukan dalam waktu yang cepat dan biasanya hanya melihat dari satu sudut pandang saja. Oleh karena itu di sebut prktis tanpa bertele-tele dan memikirkan banyak aspek. Sedangkan dalam kultur kepolisisan seperti yang kita ketahui semuanya harus memiliki perencanaan yang matang secara tersusun dan menurut sistematika.

Behubungan dengan kultur normatif polri maka kode etik memberikan peranan penting di dalamnya. Kode etik merupakan aturan tertulis yang secara sistematik sengaja dibuat berdasarkan prinsip-prinsip moral yang ada dan pada saat yang dibutuhkan dapat difungsikan sebagai alat untuk menghakimi segala macam tindakan.

Sebagai aturan-aturan moral yang biasanya tertulis yang dibuat oleh sebuah organisasi. Kode etik yang tertulis ini adalah kode etik yang ideal yang diberlakukan oleh organisasi yang bersngkutan untuk dipatuhi dan digunakan sebagai pedoman oleh anggota-angotanya dalam tindaikantindakan mereka. Kode etik kepolisian yang aktual biasanya juga tidak tertulis, tetapi ada dan digunakan oleh sekelompoik petugas kepolsian dari fungsi yang sama atau dari satgas yang sama. Di sisi lain, etika dapat dibagi menjadi etika umum dan etika khusus.

Makna-makna dibentuk dari bahasa yang digunakan oleh para aktor yang terlibat dalam relasi-relasi sosial dan selalu berkembang. Demikian pemikiran Barker mendasari konsep kunci dari Derridean tentang “keberbedaan dan ketertundaan” yang terpusat pada instabilitas dan tak dapat ditentukannya makna dalam sebuah bahasa.
Makna selalu dihubungan dengan kekuasaan untuk memaksa sebuah gagasan sehingga mempengaruhi perilaku dan tindakan para aktor yang terlibat di dalamnya. Seperti yang dikatakan Foucault “selalu ada regulasi makna oleh kekuasaan ke dalam diskursus dan pembentukan wacana”. Jadi makna yang muncul dari sebuah bahasa yang digunakan dalam relasi sosial seperti regulasi yang tidak tampak namun dipatuhi oleh para aktor yang terlibat.

Artinya bahwa aktor yang terlibat memahami makna dari bahasa yang digunakan dalam menjalin relasi sosial dengan aktor lainnya. Makna-makna tersebut terkadang sengaja dibuat final dan hanya dipahami oleh para aktor yangterlibat dalam suatu kelompok relasi sosial tertentu saja.

Jika berfikir dengan logika terbalik tentang representasi kultur Polri yang tidak baik oleh para aktor-aktor kepolisian saat ini, maka kondisi tersebut bisa jadi disebabkan karena adanya pengaruh makna dari perkataan yang muncul selama para aktor tersebut mengikuti Diktuk di pabrik aktor Polri. Perkataan tersebut sudah dinaturalkan sebagai sesuatu yang hegemonik, yaitu sudah diterima sebagai hal yang “biasa” sehingga menjadi peta makna para aktor Polri dalam memahami pelaksanaan praktik-praktik kepolisian.
Dengan demikian ia bisa menjadi salah satu hal yang mentradisi dan mempengaruhi representasi kultur Polri secara organisasi. Beberapa perkataan yang memunculkan makna tidak baik adalah:
(1) “siap salah”;
(2) “harus pintar-pintar”; dan
(3) “pokoknya.”
Perkataan “siap salah” selalu diucapkan secara spontan oleh bawahan kepada atasannya, ketika perilaku atau tindakan yang dilakukannya tidak sesuai dengan keinginanatasannya.Terkadang ketidaksesuaian tersebut bukan dikarenakan perilaku atau tindakan bawahan secara normatif melanggar aturan, namun lebih kepada persepsi atasan yang menganggap perilaku dan tindakan bawahannya tidak sesuai dengan harapan mereka. Bawahan pada kondisi ini tanpa pembelaan atas apa yang telah dipersepsikan salah oleh atasannya.

Melalui kesadaran praktis, para aktor terlibat dalam relasi sosial dimana bawahan selalu “siap disalahkan” oleh atasannya. Inilah wilayah kepribadian yang berisi gugus pengetahuan yang sudah diandaikan. Giddens dalam Priyono (2003:29) mengistilahkannya sebagai taken for granted knowledge. Para bawahan selalu siap disalahkan tanpa harus mempertanyakan secara terus menerus atas apa yang telah dipersepsikan salah oleh atasannya.

Penggambaran bahwa “atasan tidak pernah salah” Perkataan mengemuka melalui kesadaran diskursif para aktor kepolisian. Aktor-aktor dimaksud memahami apa yang digagasnya dan melakukan aktualisasi berupa tindakan-tindakan yang dapat membenarkan gagasan yang dimunculkannya. Disinilah letak kekuatan perkataan “harus pintarpintar”, dimana gagasan yang menyimpang bisa saja tertutupi dengan berbagai praktik-praktik yang dapat membenarkan gagasan tersebut.
kesadaran praktis ini merupakan kunci bagaimana relasi sosial lambat laun menjadi struktur. 

Sama halnya dengan bawahan yang selalu siap disalahkan oleh atasannya yang secara terus menerus diproduksi dan lambat laun menjadi struktur berupa kultur Polri yang tidak baik. Pentradisian dari kesadaran praktis para aktor akan memunculkan beberapa perilaku dan tindakan yang tidak sesuai dengan nilai, norma, dan simbolisasi normatif Polri, seperti: atasan tidak pernah salah, bawahan selalu menutupi kesalahan atasan atau selalu bertanggung jawab terhadap kesalahan kesatuan, bawahan tidak dapat mengoreksi gagasan dan praktik atasan meskipun menyimpang dan lain sebagainya.

Dalam kondisi sekarang ini, paradigma/ citra yang buruk terhadap kondisi polisi dan kepolisian, menyebabkan adanya keinginan untuk meninjau kembali etika profesi yang ada dalam kepolisian dan menyesuaikan era 4.0. Pada era 4.0 perlu adanya perkembangan perkemangan dari segi pola pikir dan tanggapan anggota polri. Karena tuntutan ancaman pada masa ini bukan lagi dari segi fisik melainkan kekuatan cybercrime yang terjadi di era 4.0

Disusun Oleh :
BRIGADIR TARUNA NIKO ARIF ZULKARNAEN
BRIGADIR TARUNA RIFQI AULIA IKHSAN SUGITO


Komentar0

Type above and press Enter to search.