Oleh: Yuliani - Aktivis Mahasiswa UGR/LMND
Realitas Kelam Perempuan dan Anak di Lombok Timur
Data terbaru menunjukkan kondisi yang memprihatinkan. Lombok Timur tercatat sebagai daerah dengan angka kekerasan terhadap anak tertinggi di NTB, dengan 847 kasus dari 2021 hingga 2024. Kekerasan terhadap perempuan juga meningkat tajam, dari 41 kasus pada 2023 menjadi 83 kasus pada 2024. Kematian ibu melahirkan dan bayi juga masih menjadi tantangan serius, dengan 23 ibu meninggal pada 2023 dan 16 pada 2024, sementara angka kematian bayi mencapai 172 kasus pada 2023 dan 101 pada 2024.
Pernikahan anak yang marak dengan angka mencapai 2.739 kasus pada 2022 menambah daftar panjang persoalan sosial yang harusnya menjadi prioritas DPRD.
Politik Kosmetik: Kursi Terisi, Tapi Suara Hilang
Namun ironisnya, persoalan ini nyaris tidak muncul sebagai agenda serius dalam pembahasan DPRD Lombok Timur. Banyak perempuan di DPRD yang sebenarnya berasal dari kalangan elit — istri pejabat, anak dari kerabat tokoh partai, dan pengusaha lokal — sehingga jauh dari akar persoalan rakyat kecil yang mereka wakili.
Alih-alih memperjuangkan kebijakan yang berpihak pada perempuan dan anak, mereka lebih banyak sibuk pada pencitraan dan proyek-proyek yang menguntungkan kelompok tertentu. Isu krusial seperti rumah aman bagi korban KDRT, edukasi kesehatan reproduksi, dan perlindungan anak yang rawan kekerasan tampak seperti “bahan pelengkap” dalam agenda politik mereka.
Senang Kunker, Tapi Minim Aksi Nyata
Yang lebih menyedihkan, banyak anggota DPRD perempuan Lombok Timur tampak gemar melakukan kunjungan kerja (kunker) ke berbagai tempat—baik di dalam maupun luar daerah—dengan biaya yang cukup besar. Kunker yang seharusnya menjadi momen belajar dan menyerap aspirasi sering kali berakhir sebagai ajang pencitraan dan perjalanan wisata.
Sementara itu, masalah di daerah seperti kekerasan terhadap perempuan dan anak, kesehatan ibu dan anak, hingga pernikahan anak, justru kurang mendapat perhatian serius di ruang rapat maupun program kerja mereka. Bukannya turun ke masyarakat, mereka lebih sering berada di luar wilayah, meninggalkan persoalan rakyat yang kian menumpuk.
Perempuan di DPRD, Tapi Untuk Siapa?
Menjadi perempuan tidak otomatis menjadikan wakil rakyat berpihak pada perempuan. DPRD perempuan Lombok Timur terlihat lebih sebagai pengisi kuota daripada agen perubahan. Mereka duduk di kursi empuk tanpa keberpihakan pada kelompok rentan di pelosok desa yang membutuhkan perhatian dan tindakan nyata.
Saya, sebagai aktivis yang terus mengawasi, menilai ini sebagai kegagalan representasi. Jika perempuan di DPRD Lombok Timur tidak mampu menempatkan perjuangan perempuan dan anak sebagai prioritas, maka kehadiran mereka hanya menjadi politik kosmetik — tampak indah, tapi kosong substansi.
Harapan yang Tertunda
Masyarakat Lombok Timur membutuhkan wakil rakyat yang berani mengambil sikap, yang berani mengangkat isu-isu perempuan dan anak ke dalam program legislasi dan penganggaran. Kami menunggu komitmen nyata untuk:
-Menambah anggaran perlindungan perempuan dan anak,
-Meningkatkan akses layanan kesehatan ibu dan anak,
-Menghapus praktik pernikahan anak,
-Memperkuat penegakan hukum terhadap kekerasan berbasis gender.
Lombok Timur sedang menunggu perempuan-perempuan di DPRD untuk keluar dari politik kosmetik, berhenti gemar kunker tanpa hasil nyata, dan benar-benar menjadi suara perjuangan rakyat kecil.
Komentar0