Oleh: Abdul Ali Mutammima Amar Alhaq, S.Sos (Jamaah Calon Haji Kloter 3 Kota Mataram)
Madinah bukan sekadar nama kota. Ia adalah jejak sejarah agung, rumah hijrah Rasulullah SAW, dan pangkal peradaban Islam yang pertama. Di bawah kepemimpinan Rasulullah SAW, Madinah yang dulu bernama Yatsrib berubah menjadi kota bercahaya (Al-Madinah Al-Munawwarah). Di sanalah Piagam Madinah lahir, menjadikan kota ini sebagai contoh paling awal negara yang dibangun atas dasar toleransi, persaudaraan, dan prinsip-prinsip ketuhanan yang mendalam. Dari tanah inilah Islam menyebar luas ke seluruh penjuru dunia, bukan hanya sebagai agama, tetapi sebagai rahmat bagi semesta alam.
Kini, 14 abad berselang, Madinah tetap menyimpan keagungan yang tak lekang. Bagi kami, Jamaah Calon Haji Kloter 3 asal Kota Mataram, Madinah bukan hanya gerbang menuju Makkah, tetapi juga ruang suci tempat hati mengendap dan menyerap hikmah. Selama delapan hari kami berada di kota ini, menunaikan shalat arbain (shalat wajib 40 waktu berjamaah di Masjid Nabawi), setiap hari terasa seperti lembaran baru dalam kitab kehidupan spiritual kami. Madinah menjadi tempat di mana tubuh menepi dari rutinitas duniawi, dan ruh kembali menunduk di hadapan Sang Pencipta.
Saat pertama kali menginjakkan kaki di Madinah pada Ahad sore, 4 Mei 2025, matahari tampak menunduk perlahan, seakan memberi salam kepada kami, tamu-tamu Allah. Kota ini menyambut dengan keheningan yang damai, yang hanya dapat dirasakan, bukan dijelaskan. Masjid Nabawi berdiri anggun, bukan hanya sebagai bangunan megah, melainkan sebagai jantung ruhani yang mengalirkan kesejukan ke seluruh penjuru kota. Di sini, kelelahan tak lagi terasa. Yang ada hanyalah ketenangan, seakan tiap sudutnya mengingatkan bahwa kita sedang berada di tanah pilihan Allah.
Dan di antara seluruh tempat yang berada di dalam Masjid Nabawi, terdapat satu tempat yang menjadi dambaan hati setiap Muslim: Raudhah, taman surga yang dijanjikan. Raudhah bukanlah ruang biasa. Ia adalah ruang yang dirahmati, di antara rumah Nabi dan mimbarnya, tempat di mana kehadiran spiritual begitu kental terasa. Di tempat ini, penulis menyaksikan kekhusyukan yang nyaris tak terlukiskan: tangan-tangan yang menengadah penuh harap, air mata yang jatuh deras namun diam, dan bibir yang terus berbisik lirih dalam doa-doa panjang yang menggetarkan.
Di Raudhah, penulis tidak hanya melihat lautan manusia, tetapi juga lautan harapan. Setiap jiwa yang datang membawa beban hidupnya sendiri penyakit, kehilangan, kegelisahan, bahkan sekadar rindu kepada Allah. Namun di ruang ini, semua perbedaan larut. Yang tersisa hanyalah kesamaan tujuan: untuk lebih dekat kepada Allah, untuk memohon, menangis, berserah, dan merasa dicintai oleh Yang Maha Mendengar. Di tengah keheningan itu, justru terasa betapa Allah begitu dekat, seolah setiap doa yang terucap didengar-Nya secara langsung. Raudhah telah menjadi ruang suci di mana langit terasa lebih rendah dan hati terasa lebih ringan.
Madinah telah mengajarkan kami makna perjalanan yang sesungguhnya: bahwa ziarah ini bukan semata tentang fisik yang kuat, tetapi tentang hati yang bersih, niat yang lurus, dan kerendahan di hadapan Sang Khalik. Di kota ini, kami tidak berlomba-lomba menjadi yang paling banyak berdoa atau paling lama menangis. Tapi kami belajar untuk menjadi yang paling tulus dalam bersujud. Karena di hadapan Allah, yang dinilai bukan kuantitas, melainkan kualitas ketundukan hati.
Sebagai kota yang pernah menjadi pusat pemerintahan Islam, Madinah juga merupakan simbol dari strategi kenabian yang matang. Rasulullah SAW menjadikan Madinah sebagai basis penyebaran dakwah, pembentukan masyarakat madani, hingga lahirnya kekuatan politik Islam yang penuh keadilan. Dari kota inilah Islam menunjukkan wajahnya yang penuh kasih sayang, inklusif terhadap umat lain, serta adil terhadap sesama.
Madinah hari ini mungkin telah berubah rupa: jalan-jalan membentang luas, gedung pencakar langit menjulang, dan teknologi menyatu dengan pelayanan jamaah. Tapi ruh Madinah tetap sama. Ia tetap menjadi tempat kembalinya jiwa yang lelah, rumah singgah untuk ruh-ruh yang ingin kembali kepada fitrah.
Sebentar lagi, kami akan berangkat menuju Makkah. Ada haru yang tertinggal. Bukan karena Madinah menyulitkan perpisahan, tetapi karena ia telah menanamkan ketenangan dan ketulusan yang tak ternilai. Madinah telah menjadi cermin yang memantulkan wajah ruhani kami. Ia menjadi saksi bisu atas doa-doa yang lirih, tangis yang jatuh diam-diam, dan hati yang menghiba pengampunan.
Sesungguhnya, yang kami cari bukan hanya Tanah Suci, tetapi kesucian hati. Dan Madinah, dengan segala sunyi dan syahdunya, telah membuka jendela bagi kami untuk menengok ke dalam diri. Maka kami pun melangkah ke Makkah dengan ruh yang telah disentuh oleh ketenangan Madinah, membawa bekal doa dan harapan yang terus kami panjatkan kepada langit.
Salam rindu dan syukur dari Kota Nabi, Madinah Al-Munawwarah.
Semoga setiap jiwa yang datang ke kota ini akan pulang dengan hati yang lebih bersih, lebih tenang, dan lebih dekat dengan Tuhannya.
Komentar0